Thariq.sch.id- Pendidik di negeri ini tahu bahwa ada pemeo terkenal “ganti menteri, ganti kurikulum”. Namun, pendengung pemeo itu kali ini harus segera introspeksi karena yang berganti hanya pendekatan pembelajarannya, yakni pendekatan deep learning atau pembelajaran mendalam. Tapi, bisa saja para pendengung itu yang akhirnya bersorak karena pemeo tersebut mendapatkan validitasnya di kemudian hari. Semoga tidak.
Istilah deep learning atau pembelajaran mendalam bukan sesuatu yang baru dalam dunia pendidikan. Pencetus awalnya adalah Marton dan Säljö pada tahun 1976 melalui publikasi ilmiah mereka tentang tingkatan peserta didik dalam memproses informasi pembelajaran. Tingkatan tersebut yaitu: pembelajaran mendalam dan pembelajaran permukaan. Dalam konteks taksonomi Bloom, pembelajaran mendalam mencakup kemampuan peserta didik dalam hal menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Sedangkan, pembelajaran permukaan hanya mencakup kemampuan peserta didik dalam hal mengingat dan memahami.
Selanjutnya pada tahun 2018, Michael Fullan dkk merumuskan bahwa pembelajaran mendalam adalah proses untuk memperoleh enam kompetensi global (6C’s) yang harus dimiliki oleh peserta didik, yaitu: karakter (character), kewarganegaraan (citizenship), kolaborasi (collaboration), komunikasi (communication), kreativitas (creativity), dan berpikir kritis (critical thinking). Kemunculan 6 kompetensi ini merupakan jawaban mereka atas panjangnya diskusi dan perdebatan di kalangan pakar dan praktisi pendidikan tentang kompetensi esensial apa yang wajib dimiliki peserta didik untuk menghadapi tantangan global.
Bak gayung bersambut, Norwegia menjadi salah satu negara yang melirik pendekatan pembelajaran mendalam untuk diadopsi dalam kurikulumnya. Berawal dari laporan yang dikeluarkan oleh komite pemerintah pada tahun 2015 untuk mengkaji keselarasan kurikulum dengan kompetensi yang diperlukan peserta didik di masa depan. Akhirnya, pada tahun 2020 pemerintah Norwegia secara penuh mengimplementasikan kurikulum baru dengan pendekatan pembelajaran mendalam.
Indonesia sedang menyusul Norwegia untuk mengadopsi pendekatan pembelajaran mendalam dalam kurikulumnya. Sinyalemen ini muncul dalam dokumen paparan pembelajaran mendalam yang dikeluarkan oleh Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Puskurjar), Kemendikdasmen. Menariknya, konsep pembelajaran mendalam ala Michael Fullan mengalami “naturalisasi” dalam kerangka kerja pembelajaran mendalam versi Puskurjar.
Hal menarik berikutnya adalah kemunculan pemanfaatan digital dalam kerangka kerja pembelajaran mendalam. Pemerintah menyadari bahwa disrupsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam bidang pendidikan tidak mungkin dielakkan. Sehingga, pemanfaatan inovasi digital harus dioptimalkan untuk mengakselerasi efisiensi dan efektivitas pembelajaran.
Gambar 2 : Kerangka Kerja Pembelajaran Mendalam
Sebagian pendidik mungkin masih mereka-reka bagaimana model pemanfaatan digital dalam praktik pembelajaran di sekolah. Namun, hal ini sudah menemukan bentuk konkretnya dalam program pembelajaran Digital Classroom di unit SMPIT dan SMAIT Thariq Bin Ziyad. Peserta didik dapat mengembangkan kompetensi kolaborasi (collaboration), komunikasi (communication), kreativitas (creativity), dan berpikir kritis (critical thinking) melalui tablet-iPad sebagai alat belajarnya. Sepertinya unit-unit sekolah di bawah naungan LPIT Thariq Bin Ziyad tidak memerlukan banyak penyesuaian saat pendekatan pembelajaran mendalam resmi diimplementasikan dalam kurikulum. Bisa jadi sudah lama dipraktikkan dalam pembelajaran hanya belum diberi “stempel nama” saja.
Ditulis oleh : Arief Fadillah, M.Pd ( Manajer Pengembangan Akademik LPIT TBZ)
Leave a Comment